06 November, 2008

Tentang Hari Tua Seorang Laki-Laki

Kulitnya telah mengeriput, rambutnya telah memutih, tubuhnya tak kuat lagi menopang kerasnya hidup, seperti seorang laki-laki yang duduk disamping ranjang yang beralaskan tikar di dalam sebuah kamar sempit berukuran tiga kali empat dimana kakek tua itu sedang berbaring. Lebih tak layak lagi ternyata ruang kamar berukuran tiga kali empat itu bukanlah hanya sebuah kamar biasa, akan tetapi ruang serba guna. Sebutan apa lagi yang lebih pantas untuk sebuah kamar yang ternyata tidak hanya digunakan untuk tidur, tetapi semua aktifitas dilakukan di ruangan kecil itu. Ruangan yang bisa beralih fungsi sebagai ruang makan, ruang tamu bagi orang-orang yang bertandang ke rumah kakek itu. Akan tetapi, semenjak delapan belas tahun aku menjadi tetangganya hampir tak pernah ada tamu yang sering bertandang ke rumahnya. Entah dimana keluarganya kini atau malah memang ia tak punya keluarga. Istri, anak atau bahkan cucunya tak pernah sekalipun datang mengunjunginya. Ia hanya sebatang kara di tengah hiruk pikuknya jakarta. Hanya tetangga-tetangga dekat saja yang mau bertandang ke rumahnya. Untuk sekedar memberikan makanan ataupun sekedar menemaninya mengobrol. Sudah lima hari ini ia tak bekerja memungut sampah plastik ataupun kertas untuk di jualnya. Karena hanya itulah yang bisa ia lakukan untuk menyambung hidup dimasa rentanya. Kini ia terkulai lemas tak berdaya diatas rajangnya. Penyakit tuanya telah menggerogoti tubuhnya yang kini telah rapuh. Lelaki bertubuh kuat di samping kakek tua itu adalah ayahku.

Selama lima hari ini ayahku selalu menjenguk kakek tua itu setelah bekerja. Biasanya aku yang menjaganya ketika siang setelah pulang sekolah. Kalau pagi hari kadang ibuku ataupun tetangga lainnya yang menjaganya. Begitu menyedihkan sekali hidup kakek ini. Ia harus berjuang menjalani hari-hari tuanya dengan kesendirian. Kesepian tanpa ada kasih sayang dari istri dan anaknya untuk menjaganya. Sampai hari ini kakek itu belum pula kunjung membaik. Malah terlihat semakin parah. Ingin sekali kami membawanya berobat. Namun, apalah daya tangan tak sanggup merengkuh bulan. Bagi orang seperti kami yang berprofesi sebagai pemulung tak akan sanggup untuk membawa kakek itu ke dokter. Bahkan sekedar ke puskesmas saja kami tak sanggup untuk membayar pengobatannya. Untuk sekedar makan keluarga kami saja sudah sangat kesusahan apalagi jika harus membawanya ke dokter. Hingga saat itu datang, ketika ajal mulai menjemputnya. Tiba-tiba ayah berkata pada pak RT yang berada di rumah kakek tua itu.

“Pak RT, apa tidak sebaiknya kita beritahu saja tentang keadaan kakek kepada keluarganya?”

“Sebenarnya saya tidak yakin apakah keluarganya mau datang meski hanya melihat keadaannya yang sudah seperti ini.”

“Dua hari yang lalu saya sudah berusaha mendatangi keluarganya dan mengabarkan kepada mereka perihal sakitnya kakek ini. Tapi, malah mereka menanggapinya dengan santai saja. Dan mereka bilang bahwa mereka tidak akan menjenguk kakek meskipun hal terburuk sekalipun yang akan menimpanya.” jawab pak RT.

“Tapi, ini sudah menyangkut nyawa loh pak RT. Setidaknya mereka harus mengetahui kabar ini. Terserah mereka saja nanti apa yang akan mereka lakukan. Yang penting kita beritahu mereka saja terlebih dahulu. Siapa tahu saja mereka mau berubah pikiran.”

“Baiklah kalau begitu pak Udin, biar saya utus pak Nono untuk mengabari keluarganya.”

Sontak aku terkejut mendengar percakapan itu. Tak kusangka ternyata kakek Tomo memiliki keluarga. Saat itu juga aku berfikir bahwa tega sekali keluarganya membiarkan ayah mereka yang renta itu tak pernah mereka urusi ataupun diperhatikan. Keluarga macam apa itu hingga tega menelantarkan ayahnya ditempat kumuh ini sendirian. Sungguh tak punya hati nurani sekali mereka. Sampai ajal hampir menjeput ayahnya pun mereka tak kunjung jua datang. Kisah hidup yang begitu memilukan. Mungkin saja dengan hal tersebut kakek Tomo merasa menjadi orang yang terbuang di sepanjang hidupnya. Apalagi yang lebih menyakitkan daripada menjadi orang yang terbuang oleh keluarganya sendiri. Keluarga yang seharusnya menjadi pelindung, tempat yang penuh dengan kasih dan sayang, tempat memperoleh segala kebahagiaan. Tapi, semua itu tak diperoleh oleh kakek Tomo. Dan hingga kakek tua itu menghembuskan nafasnya yang terakhir, tak satupun dari keluarganya datang untuk menjenguk dan mengurusi jenazahnya. Sungguh malang hidupnya.

Seminggu setelah kepergian kakek Tomo untuk selamanya, aku mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Ketika sore itu aku duduk berdua dikursi bambu bersama ayah, kami mengenang kembali sosok kakek tua itu. Sambil meminum kopi hangat yang ayah teguk sedikit demi sedikit, terurailah semua kisah muda seorang kakek Tomo. Baru aku ketahui bahwa ternyata kakek Tomo muda adalah seorang pemabuk dan penjudi berat. Dahulu ia adalah seorang yang berada. Namun, kesombongan mulai muncul di hati Tomo muda. Ia tak pernah mau mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan padanya. Kekayaan yang ia miliki malah menjerumuskannya ke dunia kelam. Ia mulai menjadi seorang penjudi dan lengkaplah kebobrokannya ketika ia mulai merambah menjadi seorang pemabuk. Di bawah kendali alkohol ia mulai ringan tangan, setiap hari tak henti-hentinya ia memukuli istri dan anaknya. Menghambur-hamburkan uang hanya untuk berjudi. Hingga wanita nakal pun mulai menghancurkan keluarganya.

Sampai akhirnya istri dan anaknya ia usir dari rumahnya yang megah. Istri dan anaknya hidup terkatung-katung dan terlantar di jalanan. Meskipun begitu istrinya sanggup menjalani semua itu. hingga istri dan anaknya kini menjadi orang sukses. Dan memang benar bahwa Tuhan itu Maha adil. Seketika itu pula ternyata kek Tomo jatuh miskin. Ia di tinggalkan oleh wanita yang selama ini menikmati kekayaannya. Dan ia terusir seperti ia mengusir istri dan anak-anaknya dahulu. Saat itulah ketika ia sudah menjadi gembel ia baru menyadari kesalahannya. Namun, semua penyesalannya telah terlambat. Istrinya kini telah bersuamikan seorang pengusaha sukses. Namun, istri kek Tomo telah meninggal terlebih dahulu sekitar lima tahun yang lalu. Anak-anaknya tak mau mengakui lagi sebagai ayah mereka. Bahkan hal itu telah mereka tetapkan ketika kek Tomo mengusir keluarganya dari rumah waktu itu. Itulah mengapa sebabnya ketika keluarganya kita hubungi untuk menyampaikan kabar malahan mereka tak perduli dan tak mau datang. Itulah keadilan Tuhan. Barangsiapa menanam pasti akan menuai hasilnya.

Tidak ada komentar: